No E Ktp Yang Mana

No E Ktp Yang Mana

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Nomor Induk Kependudukan atau NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.

Hal ini sesuai  dengan  bunyi  pasal  1  point  12  UU No 24  Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata.

NIK pertama kali diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan ketika Institusi Pemerintah ini menerapkan sistem KTP nasional yang terkomputerisasi.

Dengan disahkannya UU No 24  Tahun 2013 sebagai peraturan pelaksanaan UU tersebut masih mengacu pada PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No 26 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

PP Nomor 37 Tahun 2007 Pasal 36 menyebutkan bahwa Pengaturan NIK meliputi penetapan digit NIK, penerbitan NIK dan pencantuman NIK ditetapkan secara nasional oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri.

(Update berita nasional, internasional dan regional menarik lainnya disini)

• Syarat Pembuatan KTP Baru di Kantor Kecamatan

Sedangkan pasal 37 menyebutkan NIK terdiri dari 16 (enam belas) digit dan kode penyusunannya terdiri dari 6 (enam) digit pertama provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, 6 (enam) digit kedua adalah tanggal, bulan, tahun kelahiran dan 4 (empat) digiti terakhir merupakan nomor urut penerbitan NIK yang diproses secara otomatis dengan SIAK.

No KTP itu yang mana ? Dimana letak nomor NIK KTP ?

Biasanya, NIK tertulis pada baris paling atas di KTP.

• Apakah Foto KTP Bisa Diganti ?

Dikutip Tribunpontianak.co.id dari laman resmi Disdukcapil Kota Pontianak, NIK dicantumkan dalam setiap dokumen penduduk yang dapat berbentuk kartu atau surat dan merupakan bukti bahwa data penduduk yang bersangkutan telah terekam dalam Pusat Bank Data Kependudukan Nasional.

NIK diterbitkan secara otomatis oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) melalui proses komputerisasi.

NIK sebagai kunci akses dalam SIAK untuk mengintegrasikan antara pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pelayanan public lainnya.

Seorang warga melaporkan adanya perbedaan NIK pada e-KTP dan Kartu Keluarga (KK). Padahal, setiap orang hanya memiliki satu NIK atau dikenal dengan prinsip single identity number.

Merespons itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, menjelaskan NIK yang sah adalah yang tercatat pada e-KTP.

"Dengan berlakunya e-KTP, maka ketika terdapat perbedaan NIK, maka yang dipakai NIK yang ada di e-KTP," ucap Zudan.

Zudan mengimbau petugas Dukcapil untuk tidak bingung jika menyikapi adanya perbedaan NIK penduduk. Pakai NIK yang tertera di e-KTP.

"Petugas Dukcapil jangan risau, jangan bingung. Kalau ada perbedaan di KK dan di e-KTP, maka gunakan NIK yang ada di e-KTP," tegas Zudan.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu Serentak 2024 untuk memilih pasangan capres-cawapres, anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten, serta Anggota DPD. Pesta demokrasi tahun 2024 kali ini diikuti lebih dari 204 juta pemilih.

Setelah Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersiap menyelenggarakan Pilkada Serentak pada September hingga Desember 2024. Menjelang pelaksanaannya, salah satu yang perlu kita waspadai adalah sebaran hoaks.

Konten palsu semacam ini terus berulang. Salah satunya hoaks pemilih bisa nyoblos di tempat pemungutan suara (TPS) mana saja hanya dengan menggunakan e-KTP.

Misinformasi ini pernah muncul menjelang Pilkada 2018 lalu. Informasi palsu tersebut beredar lewat pesan berantai di aplikasi percakapan WhatsApp. Isinya imbauan untuk mengawasi jalannya pemungutan suara pada Pilkada Serentak 2018.

Dalam pesan berantai itu disebutkan bahwa pemilih bisa menggunakan hak suaranya di TPS mana saja hanya dengan menggunakan e-KTP.

Jelang Pemilu 2019 lalu juga pernah beredar konten hoaks terkait penggunaan e-KTP untuk mencoblos. Hoaks yang beredar di aplikasi percakapan itu berisi klaim mengenai pemilih diperbolehkan nyoblos hanya dengan e-KTP walaupun tidak memiliki surat undangan atau formulir A5.

Konten hoaks terkait e-KTP ini turut menjadi perhatian Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta terutama menjelang Pilkada Serentak pada September hingga Desember 2024 mendatang.

"Nah ini kadang-kadang misinformasi ini keluar di masyarakat seolah-olah orang yang punya e-KTP di mana pun asalnya kita boleh nyoblos, nah itu informasi yang kurang pas," kata Ketua KPU DKI Jakarta, Wahyu Dinata kepada Liputan6.com pada Senin (29/4/2024).

Warga yang memiliki e-KTP memang punya hak suara saat Pemilu maupun Pilkada. Namun, pemilih yang memiliki hak suara harus terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Misalnya, jika pemilih beralamat sesuai e-KTP di wilayah Jakarta Pusat, maka dia tidak bisa nyoblos di tempat lain.

Karena itu, KPU menjelaskan, tidak semua orang yang sudah punya hak pilih bisa mencoblos hanya menggunakan e-KTP saat Pemilu maupun Pilkada.

Dalam Pasal 348 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS harus memiliki e-KTP. Hanya saja, dalam ayat (1) secara tegas tertulis bahwa pemiliih yang memiliki e-KTP harus terdaftar dalam DPT.

Pemilih yang memiliki e-KTP tetapi tidak terdaftar dalam DPT, tetap bisa menggunakan hak pilihnya. Ada ketentuan lain yang mengikuti sebagaimana tertuang dalam Pasal 349 UU Pemilu. Mereka yang memiliki hak pilih diperbolehkan mencoblos dengan ketentuan:

Jelang pilkada 2024, ada sejumlah hal yang perlu diwasapadai. Satu di antaranya hoaks terkait peggunaan e-KTP bisa nyoblos di mana saja. Simak faktanya

Let’s watch this show on the app!

Scan this QR to download the Vidio app.

Let’s watch this show on the app!

Scan this QR to download the Vidio app.

Oleh: Antonius H. Priatmaja

Staf Bidang Penelitian LK2 FHUI 2017

Kartu Tanda Penduduk dapat dikatakan sebagai salah satu hak yang patut diperoleh bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini dikarenakan Kartu Tanda Penduduk ini memuat dokumen kependudukan yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Saat ini, warga negara Indonesia dipermudah dengan kehadiran e-KTP atau KTP Elektronik yang lebih menjamin keamanan dokumen kependudukan tersebut. “Hanya negara-bangsa yang mampu mengembangkan kebijakan publik yang unggul, baik perumusan, implementasi, maupun evaluasi yang akan menjadi negara yang unggul dalam persaingan global” (Riant Nugroho, 2011). Dengan diberlakukannya e-KTP ini, pemerintah sudah mau mengambil kebijakan yang membuat Indonesia tidak tertinggal oleh perkembangan zaman dan menjadi negara yang unggul.

Semua warga negara Indonesia seharusnya dapat memperoleh secara “mudah” Kartu Tanda Penduduk mereka. Sayangnya, belakangan ini dapat kita rasakan bahwa masih saja terdapat kejadian dimana beberapa orang yang ingin mengurus pembuatan Kartu Tanda Penduduk terhambat karena proses administrasinya yang terkadang suka terbelit-belit. Dapat ditemui berbagai permasalahan yang dimulai dari hal teknis sampai yang non-teknis juga, seperti teknologi yang digunakan seringkali bermasalah, data kependudukan yang tidak mutakhir, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat kita katakan penyebabnya adalah pada tindakan korupsi di mega proyek e-KTP.

Korupsi yang terjadi melalui mega proyek e-KTP ini memang merugikan negara dalam skala yang cukup besar. “Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinakan organisasi kriminal, terorisme, dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang” (Kofi A. Annan; UN, 2004). Permasalahan korupsi dari mega proyek e-KTP ini menciptakan apa saja yang diibaratkan dalam pernyataan sebelumnya.

Kasus ini dapat dikatakan sebagai salah satu korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Berawal dari dimenangkannya tender pengadaan e-KTP oleh konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia. Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri, dan PT Quadra Solution. Anggaran yang dibawa oleh konsorsium tersebut untuk menjalankan proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik itu mencapai Rp5,9 triliun. Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), terdapat kejanggalan yaitu adalah post bidding, penandatanganan kontrak pengadaan e-KTP pada sanggah banding, dan persaingan usaha yang tidak sehatMuhammad Nur Rochmi, 2016).

Post bidding adalah suatu tindakan untuk mengubah, menambah, mengganti, dan atau mengurang dokumen pengadaan dan atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran (Jerome Wirawan, 2017). Pasca pengumuman tender, spesifikasi alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan e-KTP, yaitu signature pad, diubah. Pelanggaran ini dinilai melanggar Pasal 79 ayat 2 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang melarang tindakan post bidding. Pelanggaran ini juga disinggung oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) yang mana lembaga ini juga melakukan pengawasan terhadap permasalahan dalam proyek e-KTP tersebut. ICW dan LKPP menilai bahwa kontrak pengadaan e-KTP ditandatangani saat proses lelang tengah disanggah sehingga tidak memberi kesempatan kepada dua peserta lelang, yaitu Konsorsium Telkom dan Konsorsium Lintas Bumi Lestari, untuk memenangkan tender pengadaan e-KTP ini. Menurut LKPP sendiri, penandatanganan kontrak seharusnya ditunda sampai selesainya masa sanggah banding. Hal ini dikarenakan pada Pasal 82 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa sanggahan banding menghentikan proses lelang. Tetapi pada akhirnya, usaha LKPP untuk menunda penandatanganan kontrak tersebut tidak diindahkan.

Kemudian, persaingan usaha yang tidak sehat terdapat pada persekongkolan yang dilakukan oleh panitia tender, PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia), dan PT Astra Graphia Tbk. Masalah persaingan usaha tidak sehat ini dibeberkan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Bentuk persaingan usaha yang tidak sehat itu, seperti PNRI dan Astra Graphia yang dinilai copy–paste dokumen tender dan panitia lelang yang melakukan post bidding. Jika kita melihat semua kejadian di atas, proyek pengadaan e-KTP ini dilakukan penuh dengan kecurangan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menyelidiki kasus dugaan korupsi proyek e-KTP sejak pertengahan tahun 2014. Penyelidikan yang dilakukan oleh KPK ini sudah berlangsung hampir 3 tahun dan KPK telah memeriksa 280 orang dalam kasus ini. KPK baru dapat menetapkan dua tersangka yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, yaitu Sugiharto. Kedua orang tersebut diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek e-KTP. Irman yang waktu ditetapkan tersangka menjabat Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek e-KTP, sedangkan, Sugiharto adalah Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut. Kedua orang tersebut disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dikatakan oleh KPK bahwa penyelidikan masih terus berlangsung karena ternyata banyak sekali pihak terkait yang menerima aliran uang dari dana proyek pengadaan e-KTP tersebut. Masih terdapat sejumlah politikus dan anggota dewan yang menerima uang haram tersebut dan masih belum tertangkap oleh KPK.

Pada akhirnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana korupsi ini adalah korupsi yang paling besar dan merugikan negara kita. Dapat kita lihat dari kasus tersebut bahwa banyak orang di luar sana, apalagi pejabat-pejabat negara kita yang masih saja haus akan uang. Banyak dari mereka yang diduga terlibat dalam korupsi ini, masih tidak mau mengakui keterlibatannya. Penulis sangat berharap bahwa mereka sungguh-sungguh melihat kerugian sebesar apa yang mereka ciptakan kepada negara ini. Jika melihat kembali undang-undang mengenai tipikor pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada Pasal 12 disebutkan bahwa denda maksimal untuk pelaku korupsi sebesar Rp1 miliar, penulis tidak yakin bahwa kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun itu dapat ditutup dengan menetapkan denda tersebut. Pada akhirnya, kita (masyarakat) lagi yang berusaha bekerja dengan jujur untuk menutupi kerugian negara.

Masalah korupsi e-KTP ini juga menimbulkan permasalahan dalam pembuatan e-KTP itu sendiri. Kerap kali kita menemukan masyarakat mengeluh dan sebagainya karena proses mengurusnya sangat lama dengan alasan yang dapat dikatakan bukan menjadi alasan seharusnya yang membuat proses pembuatan bisa sampai selama itu. Terhambatnya orang-orang untuk menerima e-KTP ini akan merugikan dalam berbagai hal, seperti tidak bisa bepergian keluar kota dengan transportasi umum yang memerlukan e-KTP, tidak bisa membuka dan mengurus rekening tabungan, dan segala kegiatan admnistrasi lainnya yang membutuhkan e-KTP bahkan dengan tidak adanya e-KTP pada masyarakat akan menghambat hak elektoral mereka. Maka itu, kita sebagai masyarakat hanya dapat berharap supaya KPK berhasil menangkap pejabat-pejabat dan politikus-politikus yang terlibat dengan masalah korupsi e-KTP ini.

Egi. “Jejak Korupsi KTP Elektronik, Indonesia Corruption Watch.” Antikorupsi.org. Diakses pada 5 Juni 2017. http://www.antikorupsi.org/id/content/jejak-korupsi-ktp-elektronik.

Liputan 6. “Aliran Dana Kasus Dugaan Korupsi E-KTP.” Diakses pada 7 Juni 2017. http://news.liputan6.com/read/2881520/aliran-dana-kasus-dugaan-korupsi-e-ktp

Rochmi, Muhammad Nur. “Kronologi Sengkarut Korupsi e-KTP.” Beritagar.id. Diakses pada 5 Juni 2017. https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-sengkarut-korupsi-e-ktp.

Wirawan, Jerome. “Dugaan Korupsi KTP Elektronik Melewati Tiga Tahapan Ini.”  BBC. Diakses pada 6 Juni 2017. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39207486.

Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Kasus ini diawali dengan berbagai kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP sehingga membuat berbagai pihak seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi.[1][2][3] Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan dan investigasi.[4]

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314 triliun.[5] Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto.[6][7] Selain itu, KPK juga menetapkan Miryam S. Haryani sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan.[8] Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017.[9][10]

Dalam perjalanannya, para pihak berwenang dibuat harus berusaha lebih giat dalam menciptakan keadilan atas tersangka Setya Novanto. Berbagai lika-liku dihadapi, mulai dari ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, dibatalkannya status tersangka Novanto oleh hakim, kecelakaan yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya ia lagi sebagai tersangka.[11][12][13] Perkara ini juga diselingi oleh kematian Johannes Marliem di Amerika Serikat yang dianggap sebagai saksi kunci dari tindakan korupsi.[14] Untuk kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya Marliem, KPK pun melakukan kerja sama dengan FBI.[15]

Perkembangan kasus e-KTP yang terjadi di era digital membuat kasus ini mendapatkan sorotan dari para warganet. Dalam beberapa kesempatan, para warganet meluapkan ekspresi mereka terkait kasus korupsi e-KTP dengan menciptakan trending topic tertentu di Twitter dan membuat meme di media sosial dengan sasaran ditujukan kepada Setya Novanto.[16] Tak hanya media nasional, media asing seperti AFP dan ABC juga turut memberitakan perkara ini, terutama terkait keterlibatan Setya Novanto.[17]

Kendati perkara proyek e-KTP telah berjalan selama beberapa tahun, kasus ini belum mencapai penyelesaian. Baru dua orang, yakni Irman dan Sugiharto yang telah divonis hukuman penjara sementara yang lain masih harus menghadapi proses hukum yang berlaku.[18] Oleh karena itu, para pihak berwenang masih harus ekstra kerja keras lagi untuk menutup buku atas perkara ini.

Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258 miliar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.[19][20] Pada 2011 pengadaan e-KTP ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk sedangkan pada 2012 ditargetkan untuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia.[21]

Sebelum proses perekaman e-KTP dilaksanakan, Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sempat menemui pimpinan KPK di gedung KPK pada 24 Januari 2011. Di sana ia meminta KPK untuk mengawasi proyek e-KTP sembari menjelaskan tentang langkah-langkah pelaksanaan proyek e-KTP. Namun KPK bukan satu-satunya institusi yang ia datangi. Sebelumnya ia juga telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk terlibat dalam pengawasan proyek ini. Dengan adanya keterlibatan institusi-institusi tersebut ia berharap megaproyek e-KTP dapat bersih dan terhindar dari praktek korupsi.[19][20] M Jasin yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua KPK juga menegaskan bahwa KPK memantau proses proyek e-KTP.[22]

Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk memutuskan konsorsium mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian melaksanakan lelang tender pada 21 Februari hingga 15 Mei 2011.[23] Di sela-sela proses lelang, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi kejanggalan pada proses lelang. Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak sesuai dengan persyaratan seperti yang terangkum dalam PP 54/2010.[22]

Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya pada 21 Juni 2011 pemerintah mengumumkan konsorsium yang menjadi pemenang lelang. Mereka adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra. Hasil itu diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian melakukan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut disepakati pada 1 Juli 2011.[24]

Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara serentak pada 1 Agustus 2011. Namun karena terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.[25]

Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender yang menyatakan bahwa terjadinya ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender berlangsung.[3] Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga dirasakan oleh Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi yang telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka mendapatkan petunjuk berupa dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan menemukan fakta bahwa telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasatmata dalam pengadaan lelang.[2]

KPK turut mencium kejanggalan dari proses proyek e-KTP. Pada awal September 2011 KPK menuding bahwa Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut adalah: 1) penyempurnaan desain.; 2) menyempurnakan aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non SIAK ke SIAK; 3) memastikan tersedianya jaringan pendukung komunikasi data online/semi online antara Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi dapat dilakukan secara efisien; 4) Pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP setelah basis database kependudukan bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal sudah melaksanakan e-KTP; dan 6) Pengadaan e-KTP harus dilakukan secara elektronik dan sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP.[26] Menanggapi tudingan KPK, Kemendagri kemudian memberikan bantahan. Reydonnyzar Moenek, juru bicara Kemendagri menjelaskan bahwa Kemendagri telah menjalankan 5 rekomendasi. Kemendagri tidak bisa melaksanakan satu rekomendasi lainnya, yakni tentang permintaan NIK tunggal saat proses e-KTP dilaksanakan karena bisa mengubah waktu dan pembiayaan e-KTP.[27]

Tak lama setelah itu, Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Lelang dalam proses pengadaan e-KTP, Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke Polda Metro Jaya dengan barang bukti berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi. Konsorsium Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP membesar hingga Rp4 triliun lebih dalam proses tender. Kenyataannya, penawaran yang diajukan oleh Konsorsium Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesar Rp4,75 triliun namun yang memenangkan tender justru konsorsium PNRI yang mengajukan penawaran lebih tinggi, yakni sebesar Rp5,84 triliun dari anggaran senilai 5,9 triliun. Mereka juga menuding bahwa panitia lelang telah menerima uang sebesar Rp50 juta pada 5 Juli 2011 dari konsorsium pemenang tender.[28]

Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka lebar. Pada 2012 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi korupsi pada proyek e-KTP lebih awal ketimbang KPK berdasarkan temuan investigator.[1] Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman pada Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Astragraphia untuk membayar denda Rp24 miliar ke negara karena melanggar pasal 22 UU No. 4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp20 miliar sedangkan PT Astragraphia didenda Rp4 miliar. Denda tersebut harus dibayar ke kas negara melalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (Pendapatan Pelanggaran di bidang persaingan usaha).[29]

Indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli 2013. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Pengacaranya, Elza Syarief menuding bahwa telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar Rp5,9 triliun, 45% di antaranya merupakan hasil penggelembungan dana. Ia juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini. Mendengar hal itu, Gamawan Fauzi merasa geram. Ia pun melaporkan Nazaruddin ke Polda Metro Jaya karena menilai bahwa tuduhannya tidak benar. Kendati demikian, saat itu KPK belum bisa memastikan kebenaran dari kecurigaan-kecurigaan yang ada karena tahap penyidikan KPK terhadap kasus e-KTP masih pada tahap awal.[30][31]

Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP.[9] Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.[6][32][33]

Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati.[4] Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015.[34] Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT Solid Arta Global sebagai saksi.[34]

Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura.[6][35]

Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan pemeriksaan selama 4 jam di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur.[36] Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK pada 21 Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.[37]

Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk mengembalikannya ke negara.[38] Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang sebesar Rp250 miliar dengan rincian Rp220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp30 miliar berasal dari anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.[39]

Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan atas nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka dan saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173 saksi atas nama Irman dan keterangan dari lima orang ahli.[40]

Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi kemudian mengadakan sidang. Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017.

Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK memutuskan untuk menetapkan tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto, yakni Andi Narogong. Penetapan dilakukan pada Rabu, 23 Maret 2017. Penyidik KPK menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik).[41]

Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi ditetapkan sebagai tersangka karena ia berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga melakukan penggelembungan dana dalam pengadaan KTP elektronik.[42][43]

Seminggu setelah penangkapan Andi, tepatnya pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat. Sidang kali ini menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel, Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam.[44].Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor.[45]

Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini 9 orang saksi hadir untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek e-KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010. Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.[46]

Tidak kooperatifnya Miryam S Hani pada sidang sebelumnya membuat per 5 April 2017 KPK menetapkan Miryam S Hani sebagai tersangka. Ia tidak ditetapkan sebagai sebagai koruptor, melainkan sebagai pemberi keterangan palsu saat menjadi saksi pada sidang keempat. Ia pun disangkakan pada Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[8]

Babak baru dari kasus e-KTP kemudian berlanjut pada sidang keenam yang diadakan pada 6 April 2017. Sidang keenam menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini Novanto membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp 547,2 miliar. Pun dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah menerima uang dari proyek e-KTP.[47] Sementara hasil dari sidang ketujuh yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan dari anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP yang tidak digabungkan.[48]

Memasuki sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10 saksi, KPK menemukan fakta bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian uang oleh kakak Andi Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam proses lelang konsorsium tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan.[49] Sementara itu hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan yang digelar pada 17 April 2017 adalah adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.[50]

Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK menemukan fakta-fakta baru terkait kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui oleh Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto. Sementara itu menurut penuturan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Andi Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-KTP. Dari ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium pemenang lelang, yakni Konsorsium PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan Murakabi hanya sebagai pendamping.[51]

Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27 April 2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR, Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adalah terjadinya kecurangan karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi.[52][53] Adapun pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa Andi Narogong memegang andil terhadap pengaturan proyek e-KTP.[54]

Jumlah tersangka korupsi pada proyek e-KTP tidak berhenti pada Sugiharto, Irman, Andi Narogong dan Setya Novanto saja. Markus Nari dan Anang Sugiana Sudiharjo menambah daftar panjang otak di balik kasus korupsi ini. Per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[55]

Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 miliar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar, berupaya menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.[56][57]

Dua bulan setelah penetapan Markus, barulah pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman, Sugiharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.[7][58][59]

Pada 9 November 2017 KPK melakukan penahanan terhadap Anang. Anang kemudian dimasukkan ke dalam Rumah Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan.[60]

Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor.[61] Tindakan Setya Novanto disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[62]

Keesokkan harinya, yakni pada Selasa, 18 Juli 2017 Setya Novanto mekakukan jumpa pers di Gedung Kompleks Parlemen Senayan dengan didampingi empat petinggi DPR lainnya, yakni Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan kepada para media bahwa ia menghargai proses hukum yang berlaku dan menjelaskan bahwa ia telah meminta surat resmi dari KPK terkait penetapannya sebagai tersangka.[63] Di sisi lain ia juga mengatakan bahwa ia merasa didzalimi.[64]

Pada 22 Juli 2017 telah terjadi pertemuan antara Setya Novanto dengan Hatta Ali selaku Ketua Mahkamah Agung dalam sidang terbuka disertasi politisi Partai Golkar Adies Kadir di Surabaya, Jawa Timur. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Komisi Yudisial (KY) pada 21 Agustus 2017. Mereka curiga bahwa Setya Novanto telah melakukan upaya kepada Mahkamah Agung agar ia bisa terbebas dari hukum, terutama lewat sidang praperadilan. Laporan GMPG ditanggapi dengan positif oleh Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari namun dibantah oleh Setya Novanto dan Mahkamah Agung.[65][66] Mahkamah Agung mengklarifikasi bahwa keberadaan Hatta Ali di Surabaya adalah murni sebagai penguji disertasi Adies Kadier dan tidak ada kaitannya dengan kasus e-KTP.[67] Menanggapi pelaporan Doli, Golkar kemudian memecatnya sebagai politisi di Partai Golkar.[68]

Selagi KPK sedang menyelidiki kasus Novanto dengan memeriksa para saksi, Setya Novanto mendaftarkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 4 September 2017.[69] Dalam sidang praperadilan, hakim tunggal yang akan bertugas adalah Hakim Chepi Iskandar.[70]

Sebagai tindak lanjut, KPK lalu memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka pada 11 September 2017. Akan tetapi, Novanto tidak datang dengan alasan sakit karena sedang mengalami perawatan di Rumah Sakit Siloam Jakarta. Novanto dikabarkan mengalami kenaikan gula darah setelah berolahraga. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pengacara Setya Novanto di Gedung KPK sembari menyerahkan surat keterangan dokter kepada KPK.[71][72]

Rencananya sidang praperadilan pertama akan dilaksanakan pada Selasa, 12 September 2017. Namun karena Novanto masih sakit dan atas permintaan KPK, maka hakim kemudian memutuskan untuk menggeser jadwal sidang pada 20 September 2017.[73] Pada waktu yang sama, Novanto melalui surat meminta KPK untuk menunda penyidikan atas kasus yang melibatkan namanya serta meminta KPK untuk menghormati sidang praperadilan yang ia ajukan sampai adanya putusan praperadilan. Menanggapi hal tersebut, KPK kemudian merespon bahwa KPK tidak akan memenuhi permintaan Novanto dan tetap melakukan penyidikan kepadanya. Hal itu sesuai dengan tiga dasar hukum yang dimiliki Indonesia, yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.[74]

Pada Senin, 18 September 2017 KPK melakukan pemanggilan kembali kepada Setya Novanto ke Gedung KPK untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun seperti pada panggilan pertama, Novanto tidak dapat hadir lagi dikarenakan ia sedang dirawat di Rumah Sakit Premier Jakarta untuk menjalani kateterisasi jantung.[75][76] Untuk mengetahui tentang kesehatan Novanto lebih lanjut, KPK kemudian mengirimkan dokter ke RS Premier Jakarta dan bekerja sama dengan dokter yang menangani Novanto.[77]

Proses praperadilan Setya Novanto berlanjut pada 20 September 2017 saat sidang perdana digelar. Dalam sidang tersebut Agus Trianto yang saat itu berperan sebagai pengacara mengajukan keberatan karena ia menilai ada keanehan atas penetapan status tersangka pada Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 namun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli 2017. Ia menilai bahwa KPK telah melanggar KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan seharusnya KPK menetapkan tersangka setelah keluarnya SPDP. Ia juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena nama Novanto tidak disebutkan dalam putusan sidang Irman dan Sugiharto.[78]

Pada 22 September 2017 Cepi Iskandar, hakim tunggal yang bertugas di sidang praperadilan menolak eksepsi yang diajukan oleh KPK dan menyatakan berwenang mengadili perkara tersebut. Sebelumnya pihak Novanto mempermasalahkan soal status penyelidik dan penyidik KPK. Namun KPK menilai jika pihak Novanto keberatan, seharusnya mereka mengajukannya lewat Pengadilan Tata Usaha Negara dan bukan praperadilan. KPK pun menerima dan menghargai keputusan hakim.[79][80] Pada sidang yang digelar pada 27 September 2017 KPK meminta untuk memutar rekaman terkait keterlibatan Novanti di sidang. Namun hakim Cepi malah menolaknya.[81]

Setelah 2 bulan menyandang status sebagai tersangka, status Novanto sebagai tersangka kemudian dibatalkan oleh Hakim Cepi pada sidang praperadilan lanjutan yang diselenggarakan pada 29 September 2017. Menurut Hakim Cepi, penetapan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena diputuskan di awal penyidikan, bukan di akhir. Selain itu ia juga tidak bisa menerima alat bukti yang digunakan KPK untuk menangkap Novanto karena telah digunakan sebelumnya dalam penyidikan Irman dan Sugiharto.[82]

Sebulan setelah pembatalan status tersangka oleh Hakim Cepi, tepatnya pada 31 Oktober 2017 KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Setya Novanto. Setya Novanto disangkakan pada Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keputusan ini dibuat oleh KPK setelah melakukan penyelidikan lebih dalam dengan mengumpulkan berbagai bukti dan minta keterangan dari para saksi. Pada 13 dan 18 Oktober 2017 KPK pernah meminta Novanto untuk dimintai keterangan, tetapi ia absen dengan alasan tugas kedinasan.[13] Sebagai tindak lanjut, KPK lalu mengantarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke kediamannya di Kebayoran Baru per 3 November 2017.[83]

Pada 10 November 2017 KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya setelah sempat dibatalkan oleh Hakim Cepi.[84] Pada 15 November 2017 KPK memangggil Novanto untuk melakukan proses pemeriksaan sebagai tersangka. Namun karena ia tidak hadir, maka penyidik KPK memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Setibanya di sana penyidik KPK tidak menemukan Novanto sama sekali.[85] Keesokkan harinya, KPK mendatangi rumah Novanto kembali. Kali ini mereka melakukan penggeledahan dan menyita CCTV.[86]

Pada malam harinya pada hari yang sama, Friedrich Yunadi memberitahukan bahwa Novanto tengah dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau karena mengalami kecelakaan di kawasan Permata Hijau hingga tak sadarkan diri.[12] Setelah sempat dipindahkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat Novanto akhirnya dibawa ke gedung KPK dengan menggunakan kursi roda pada 19 November 2017 untuk dilakukan pemeriksaan dan penahanan. Berdasarkan keterangan tim dokter, Novanto tak perlu dirawat lagi di Rumah Sakit.[87][88] Pemeriksaan pun diadakan keesokan harinya di gedung KPK pada 20 November 2017.[89]

Pada 5 Desember KPK menyatakan bahwa berkas-berkas Novanto telah P21 atau lengkap. Oleh karena itu KPK melimpahkan berkas-berkas tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 6 Desember 2017.[90] Sehari setelahnya, yakni pada 7 Desember 2017 Pengadilan Negeri Jakarta menggelar sidang praperadilan perdana. Seharusnya sidang perdana praperadilan diadakan pada 30 November 2017. Namun berhubung KPK tidak hadir, maka sidang ditunda selama 7 hari.[91] Setelah itu sidang praperadilan dilanjutkan lagi pada 8 dan 11 Desember 2017.[92][93] Sidang praperadilan dilakukan karena Novanto sempat mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan pada 15 Desember 2017.[94]

Berdasarkan aturan yang mengacu pada Pasal 82 ayat 1 huruf c, putusan praperadilan harus diselesaikan maksimal 7 hari setelah sidang diadakan. Itu artinya, putusan maksimal dibacakan pada 14 Desember 2017 mengingat sidang diselenggarakan pada 7 Desember 2017. Namun berhubung sidang pokok perkara akan diselenggarakan pada 13 Desember 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka secara otomatis praperadilan Novanto pun gugur. Hal itu dinyatakan oleh hakim tunggal praperadilan Setya.[95][96]

Pada 13 Desember 2017 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengadakan sidang pokok perkara dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam sidang tersebut terdapat beberapa hal yang terjadi pada Setya Novanto, mulai dari tak menjawab saat ditanya hakim, mengaku sakit diare dan telah 20 kali bolak-balik ke WC bahkan hingga mengatakan bahwa ia lahir di Jawa Timur padahal sebenarnya Bandung. Atas tindakan yang Novanto lakukan, hakim sidang sempat melakukan skors lalu meminta dokter untuk memeriksakan kesehatannya.[97][98]

Setelah melalui serangkaian proses, majelis hakim kemudian memberikan vonis kepada para tersangka atas keterlibatan mereka dalam tindakan korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP. Setiap tersangka mendapatkan vonis yang berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka. Berikut adalah hukuman yang harus diterima oleh para tersangka:

Atas tindakannya dalam merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun dan terbukti menerima uang sebesar USD 200 ribu dari Andi Narogong, Sugiharto dijatuhi hukuman oleh majelis hakim berupa kurungan penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Selain itu, Sugiharto juga wajib membayar uang pengganti senilai USD 50 ribu dikurangi USD 30 ribu serta mobil honda jazz senilai Rp 150 juta dalam rentang waktu satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap. Harta benda Sugiharto akan disita jika ia tidak membayarnya. Jika tidak cukup, harta benda tersebut diganti dengan kurungan penjara selama 1 tahun. Keputusan ini diputuskan oleh Majelis Hakim pada sidang dengan agenda pembacaan vonis pada 20 Juli 2017. Vonis ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan pada 22 Juni 2017.[18][99]

Berdasarkan penyelidikan KPK dan hasil sidang, Irman terbukti menerima uang sebesar USD 300 ribu dari Andi Narogong dan USD 200 ribu dari Sugiharto. Oleh karena itu per 20 Juli 2017 majelis hakim lewat sidang dengan agenda pembacaan vonis memberikannya hukuman berupa kurungan penjara selama 7 tahun dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Di samping itu Irman juga wajib membayar uang pengganti senilai USD 500 ribu dikurangi USD 300 ribu dan Rp 50 juta dalam rentang waktu 1 bulan setelah berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dipenuhi, harta benda Irman akan disita. Jika masih tak cukup, Irman wajib menggantinya dengan pidana 2 tahun penjara.Vonis ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan pada 22 Juni 2017.[18][99]

Andi dijuluki 'Narogong' karena memiliki usaha konveksi di Jalan Narogong, Bekasi.[100] Andi dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan pada 7 Desember 2017 berupa hukuman penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara serta wajib membayar uang pengganti senilai USD 2,1 juta. Dengan harapan dapat meringankan vonis (sidang dengan agenda pembacaan vonis belum dilakukan) yang akan diputuskan nanti, ia pun berperan sebagai justice collaborator.[101][102]

(belum dijatuhi hukuman)

(belum dijatuhi hukuman)

dijatuhi hukuman 16 tahun penjara, sedikit lebih ringan dari tuntutan yang diajukan jpu. dan membayar uang pengganti US$7,3 juta dalam kurs terbaru setara dengan lebih dari 101 miliar. Serta pencabutan hak politik selama 5 tahun. Dan dipenjara di penjara sangat mewah seperti hotel berbintang lima yang tepat di Lembaga Permasyarakatan (LP) Sukamiskin Bandung

Untuk menguak siapa dalang di balik korupsi megaproyek e-KTP, KPK membutuhkan berbagai bukti kuat. Salah satu yang memilikinya adalah Johannes Marliem. Marliem sendiri merupakan direktur PT Biomorf Lone LLC yang terlibat dalam proyek e-KTP dalam hal pengadaan produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1. Seperti yang diberitakan berbagai media, ia menjadi saksi kunci atas kasus ini karena melalui sebuah wawancara dengan media Tempo ia mengaku memiliki rekaman berukuran 500 GB berisikan percakapan antara para pelaku proyek e-KTP. Setya Novanto termasuk salah satu di antaranya.[14] Beberapa waktu setelah melakukan wawancara, ia kemudian menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapat perlindungan.[103]

Berdasarkan surat dakwaan Irman dan Sugiharto, perkenalan Marliem dengan proyek e-KTP bermula dari pertemuannya dengan Diah Anggraini, Andi Narogong, Husni Fahmi dan Chaeruman Harahap pada Oktober 2010 di Hotel Sultan, Jakarta.[104] Ia juga sempat bertemu dengan tim Fatmawati dan Setya Novanto.[105] Masih berdasarkan surat dakwaan, ia disebut telah memberikan uang sebesar 200 ribu dollar Amerika kepada Sugiharto di Mal Grand Indonesia yang kemudian dianggap sebagai uang keuntungan dari proyek e-KTP oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.[104]

Namun belum sampai terungkap seperti apa dan bagaimana isi dari bukti rekaman yang Marliem miliki, sebuah kabar duka datang. Marliem dinyatakan meninggal dunia di kediamannya di Amerika Serikat. Kabar itu pertama kali muncul dari media sosial pada Jumat, 12 Agustus 2017, seperti yang pertama kali dituliskan oleh akun instagram bernama @mir_at_lgc dalam foto yang diunggahnya bersama Johannes Marliem dan CEO Lamborghini. Kematian Johannes kemudian dihubungkan oleh beberapa media dengan penyekapan yang dilakukan oleh seorang pria bersenjata di kawasan elite Beverly Grove, Edinburgh Avenue, West Hollywood, Los Angeles, tempat Marliem tinggal. Itu dikarenakan peristiwa tersebut terjadi pada beberapa hari sebelum Johannes meninggal, tepatnya dari Rabu, 10 Agustus 2017 pada pukul 17.00 WIB hingga Kamis, 11 Agustus 2017 dini hari waktu Amerika yang kemudian diakhiri dengan tindakan bunuh diri si penyekap dengan cara menembakkan senjata ke dirinya sendiri.[14]

Setelah sempat simpang siur akan apa penyebab kematian Johannes Marliem, pada 15 Agustus 2017 otoritas Los Angeles menyatakan bahwa Marliem tewas karena bunuh diri. Ia mengakhiri nyawanya dengan cara menembakkan pistol ke arah kepalanya sendiri. Informasi tersebut disampaikan melalui laman resmi Department of Medical Examiner-Coroner Los Angeles County. Asisten Kepala Investigasi dari Kantor Koroner Los Angeles County juga membenarkan hal tersebut.[106]

Mengenai status Johannes Marliem sebagai saksi kunci, terdapat dua versi berbeda dari KPK. KPK melalui Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan bahwa KPK tidak pernah menganggap Marliem sebagai saksi kunci karena tidak pernah hadir di persidangan. Saut bahkan menduga bahwa kematian Johannes dikarenakan ia mendapatkan tekanan sehingga mengakhirinya dengan melakukan bunuh diri.[107][108] Namun Novel Baswedan justru menganggapnya sebagai salah satu saksi kunci dari beberapa saksi kunci yang ada.[103]

Kepergian Johannes Marliem menimbulkan berbagai respon dari berbagai pihak. Wakil ketua DPR RI, Fahri Hamzah menyarankan kepada KPK untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi e-KTP. Ia berpendapat bahwa KPK terganggu sejak kabar duka itu terjadi. Alasan lainnya adalah ia beranggapan bahwa Johannes Marliem tidak bisa disebut sebagai saksi kunci karena KPK belum pernah memeriksanya sejak kasus e-KTP bermula. Ia juga menilai tidak ada dasarnya menjadikan Johannes Marliem sebagai saksi kunci karena sebagai orang yang bekerja di bidang digital, adalah hal yang wajar jika Marliem bersinggungan dengan data-data.[109] Sementara itu menurut Indonesian Corruption Watch, kematian Marliem dapat menghambat KPK dalam menyelesaikan kasus ini karena menduga para pelaku melakukan usaha sistematis yang dilakukan untuk menyerang KPK.[104] Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo turut memberikan tanggapan terkait kematian Marliem. Baginya, KPK bertanggung jawab besar atas kematian Marliem karena gagal dalam memberikan perlindungan.[110]

Meskipun Marliem telah meninggal dunia sebelum menyerahkan rekaman, KPK tetap melanjutkan pengusutan kasus ini. Berhubung Marliem telah menjadi Warga Negara Amerika Serikat sejak 2014[111] dan kematiannya terjadi di Amerika Serikat, KPK pun bekerja sama dengan FBI untuk menguak kasus ini. Ini adalah kali kesekian KPK melakukan kerja sama dengan FBI.

Lewat kerja sama tersebut FBI berhasil menguak aset yang dimiliki oleh Johannes Marliem pada akhir September 2017. FBI mendapatkan fakta bahwa selain Biomorf telah menerima lebih dari 50 juta dollar Amerika untuk pembayaran subkontrak proyek e-KTP, terjadi transaksi sebesar 13 juta dolar atau setara dengan 175 miliar rupiah ke rekening pribadi Marliem. Laporan FBI menyebutkan bahwa uang itu digunakan untuk membeli rumah, mobil dan bahkan jam tangan mewah. Setelah ditelusuri lebih lanjut di Konsulat Indonesia di Los Angeles pada Juli 2017, Marliem mengaku bahwa ia pernah membeli jam tangan seharga Rp 1,8 miliar. Diduga Setya Novanto menjadi orang yang menerimanya.[15] Jonathan Holden, agen khusus FBI seperti dikutip startribune.com, juga menyatakan bahwa Marliem pernah membeli jam tangan senilai 135.000 dollar AS dari sebuah butik di Beverly Hills.[112] Fakta lainnya adalah Marliem menyatakan bahwa ia telah mengirimkan uang senilai USD 700.000 ke Chairuman Harahap.[15]

Terjadinya kasus korupsi e-KTP di era digital tidak hanya menimbulkan reaksi dari warga biasa, tetapi juga dari warganet selaku pengguna media digital. Oleh karena itu mereka meluapkan respon di jejaring sosial mereka masing-masing dengan beragam cara. Tak sekadar membuat kreasi meme kemudian mengunggahnya di jejaring sosial seperti instagram, sebagian besar warganet juga memanfaatkan fitur tagar tertentu pada twitter. Hal itu dikarenakan semakin banyak warganet yang menuliskan tagar tertentu secara serempak dalam waktu bersamaan, maka akan tercipta trending topic sehingga reaksi mereka atas kasus korupsi semakin tersebar luas. Tercatat ada beberapa nama yang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP di Indonesia. Namun sejak perjalanan kasus korupsi e-KTP tersebut bergulir, mayoritas reaksi warganet hanya ditumpahkan kepada Setya Novanto.

Pada 15 November 2017 para warganet dihebohkan dengan tagar bertajuk "#IndonesiaMencariPapah" yang menjadi trending topic Indonesia. Istilah papah digunakan merujuk pada Novanto saat kasus "Papa minta saham" beberapa waktu lalu. Tagar #IndonesiaMencariPapah ditulis oleh para warganet sebagai respon karena KPK belum berhasil menangkap Setya Novanto sejak penetapannya sebagai tersangka untuk kedua kalinya pada 10 November 2017. KPK sempat mengunjungi rumah Novanto namun mereka tidak menemukannya di sana.[113]

Respon warganet juga ditunjukkan saat Friedrich Yunadi, pengacara Setya Novanto menjelaskan kepada para media pada 16 November 2017 bahwa Setya Novanto mengalami benjol di kepala dengan ukuran sebesar bakpao setelah mengalami kecelakaan karena menabrak tiang listrik. Alih-alih memberikan simpati, sebagian besar dari mereka justru memberikan komentar satir dan guyonan di akun media sosial dan sebagian lainnya membuat meme. Meme yang dibuat beragam. Salah satunya adalah meme berupa foto Setya Novanto tengah berbaring dengan sebuah bakpao yang menutupi seluruh muka Setya Novanto seperti yang diunggah oleh akun twitter @RatuNyi2r pada 17 November 2017.[114]

Dalam waktu bersamaan, para warganet juga membuat trending topic Indonesia di twitter dengan tagar #SaveTiangListrik dan pada 17 November 2017. Respon lainnya juga ditunjukkan dengan diunggahnya meme-meme tentang tiang listrik ke media sosial. Hal itu dikarenakan banyak warganet yang menilai bahwa kecelakaan tunggal yang dialami Setya Novanto dengan menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan bersifat janggal.[16][115]

Bergulirnya kasus e-KTP tak hanya menjadi perhatian bagi media nasional, melainkan juga media asing. Di antara berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi pada kasus korupsi e-KTP, keterlibatan Setya Novanto dominan menjadi fokus berita. Saat Setya Novanto hilang dari KPK, sejumlah media asing memberitakannya. Washington Post dan The New York Times, dua media asal Amerika Serikat memuat berita berjudul "Top Indonesia Official Escapes Arrest by Anti-Graft Police" yang dikutip dari Associated Press. Sementara itu media Australia, ABC memberitakannya dalam judul "Indonesian Speaker Setya Novanto wanted for questioning over corruption scandal, but unable to be found". Lebih lanjut, ABC menulis bahwa kasus tersebut adalah ujian bagi Joko Widodo.[116]

Selain hilangnya Novanto, media asing juga mewartakan tentang jalannya sidang pokok perkara yang perdana. Media AFP yang berbasis di Prancis menulis berita dengan judul "Indonesian Speaker Setya Novanto's corruption trial delayed by his 'diarrhoea'". Media tersebut menyatakan bahwa sidang kasus Novanto yang merupakan sidang korupsi terbesar di Indonesia dalam beberapa tahun yang tertunda setelah Novanto mengklaim mengalami diare. The Washington Post dan ABC News juga turut memberitakan kasus ini dengan mengutip pemberitaan dari The Associated Press.[17]